Konten [Tampil]
Sejak beberapa tahun terakhir, sebelum tidur. Ketika ruh akan berkelana dan fisik memasuki waktu istirahat. Padahal kenyataannya organ-organ dalam tumbuh kita tetap bekerja. Saya menyempatkan untuk mengucapkan terima kasih pada diri sendiri.Every lover got to be a fighter. 'Cause if you don't fight for your love. What kind love do you have - Keeanu Reeves
A battle of Me |
Terima kasih untuk diri ini. Apa pun hal sulit yang telah dilalui saat ini, esok hari bangun kembali. Bangkit. Berdiri lagi. Kaki menjejak bumi penuh kekuatan bahwa kita mampu menghadapi.
Musuh terbesar yang harus saya hadapi dan kerap mengecewakan adalah diri saya sendiri. Musuh itu berselimut dalam sikap, tingkah yang dikendalikan oleh pikiran.
Menyalahkan diri sendiri atas sebuah peristiwa yang mengecewakan kerap saya lakukan. Kemudian menghukum diri sendiri. Oh iya, dulu saya adalah tipe yang jarang sekali memberi “reward to my self” malah seringnya menghukum diri sendiri. Untuk healing pun saya diliputi perasaan bersalah.
Sejenak mari kita berbicara masa lalu. Tentang mantan dulu.
Suatu ketika seorang pria yang memantau pergerakan saya sejak pertemuan pada sebuah festival UMKM yang digelar oleh pemkot Bandung. UMKM. Usaha Maneh Kumaha Maneh tea... Dia tertarik dengan produk yang kami tawarkan. Tak berapa lama kami pun cukup intens berkomunikasi.
Beberapa pegawai saya keberatan dengan kehadiran Bapak yang mengaku manager sebuah jenama baju muslim ternama. Menurut mereka, beliau itu tidak ada minat untuk membuat bisnis, itu mah cara mendekati saya saja. Dan ternyata mereka benar.
Kemudian dia mulai berbagi mimpi bersama saya untuk membuat sebuah usaha bersama. Terdorong oleh perasaan lelah bekerja untuk orang lain dan ingin membangun usaha sendiri.
Ending-nya mudah ditebak (I wish saya pun bisa menebak saat itu, bukan malah terbuai). Beliau pergi. Meninggalkan saya dengan segala janji-janji dan mimpi-mimpi yang dia buat. Saya mah hanya menyimak tapi malah terhipnotis, terbuai lalu patah hati. Pegawai saya senang dengan kepergiannya dan tetap bersimpati atas kemalangan yang menimpa saya.
Cukup sekian mengenai Bapak manager itu. Justru pasca perpisahan yang membuat masalah tersendiri. Seperti biasa saya menyalahkan diri sendiri. Saya berusaha mencari sebab mengapa hubungan ini tidak berhasil dengan mencari letak kesalahan pada saya pribadi.
Berasumsi pada diri sendiri yang semakin memperparah kondisi patah hati. Berpikir bahwa saya sebagai perempuan tak mampu membahagiakan beliau hingga berpaling ke lain hati. Saya kurang ini, saya kurang itu. Saya tidak perhatian. Saya berbeda, tidak seperti perempuan kebanyakan.
Berbulan-bulan. Eh, malah bertahun-tahun saya suka dihantui perasaan minder. Selalu kurang. Menganggap diri tidak mampu. Meratapi bahwa saya adalah seorang losser.
Tahun berlalu, saya mendapat kabar beliau kena masalah. Cukup besar. Bukan bermaksud tertawa diatas penderitaan orang lain. Justru kabar itu menjadi momentum bahwa saya tidak melakukan kesalahan apa-apa. Memangnya orangnya saja yang bedebah (I’m sorry for being rude) dibalik sikap alim dan religius.
Hal ini semacam trigger untuk menyadari, bahwa saya tidak seburuk apa yang saya pikir. Saya seorang yang mampu dan tak kurang apa pun. Sama seperti perempuan lain. Kesalahan tidak sepenuhnya milik saya seperti yang saya pikir sehingga beliau pergi. Saya telah memberikan yang terbaik, membuat bisnis plan beserta beberapa tindakan eksekusinya. Untungnya (masih untung juga) saya belum mengeluarkan modal.
every battle will lead you to the new you |
Maka ketika ada seseorang yang datang bercerita tentang kesusahannya, lalu saya memberikan bantuan terbaik yang bisa saya lakukan. Kemudian orang itu pergi tanpa kata terima kasih atau pun kata ma’af telah merepotkan. It is surely not my problems. It is yours. Justru menunjukkan karakter sesungguhnya. Dengan begitu saya diberi kemudahan oleh semesta untuk melakukan seleksi.
Jika pada tahun sebelumnya saya merasa kalah. Tidak. Itu pemikiran yang salah. Justru saya adalah pemenang. Saya pemenang dalam pertempuran ini. Karena saya diberi kemampuan untuk memberi. Saya diberi kemampuan untuk berdiri dan bangkit kembali. Dan setiap waktu ketika musuh datang mengatakan bahwa saya seorang losser. No! it has to be corrected. I am worthy and I am the winner.
Berterima kasih pada diri sendiri adalah cara saya mengalahkan musuh terbesar itu. Musuh yang bersembuyi dalam pikiran dan membuat seolah-olah saya mahluk lemah. Rendah. Tak berarti. Pikiran yang mengendalikan sikap dan tindakan. Mengontrol rasa malas, memerintah untuk mengulur waktu, menunda pekerjan dan segala tindak-tanduk yang membuat saya rugi sendiri. Finally it is all about me against me.
Tulisan ini kolaborasi dengan teman-teman Bandung Hijab Blogger
Hemm, kata-kata pertama menusuk banget gak hanya dalam cinta tapi dalam hidup we are a fighter. Harus semangat berjuang karena kalau gak gitu apa yang kita miliki. Semangat!
BalasHapusKeeanu panutan aku.
HapusTerima kasih sudah membaca.
Matur nuwun