Perkara ma’af-mema’afkan umumnya melibatkan dua pihak. Pihak
pertama biasanya dipegang oleh yang memohon ma’af dan pihak kedua sebagai
pemberi ma’af. Bagi keduanya perkara ma’af-mema’afkan pasti terasa berat. Pihak
pertama sebagai pemohon akan terasa
berat karena harus meniadakan gengsi. Memotong urat malu. Menghilangkan rasa kalah atau mengenyahkan rasa terintimidasi. Pihak kedua pun tak
kalah berat.
Apakah dengan memberi ma’af semua masalah akan selesai?
Apakah dengan memberi ma’af semua masalah akan selesai?
Di lingkungan saya akhir-akhir ini sering kali menemukan
kasus KDRT. Biasanya memang banyak dialami oleh kaum perempuan, tetapi setahun belakangan
saya bertemu dengan suami yang mengalami KDRT yang dilakukan oleh istrinya.
Hmmm…. ajaib bukan? Suami mengalami KDRT. Pertanyaan saya umum seperti
pertanyaan kebanyakan. Mengapa suami yang seyogyanya imam keluarga. Seorang
pemimpin tetapi ‘keok’? Jawabannya diplomatis sekali, biar tidak
berpanjang-panjang masalahnya. Malas untuk beradu argumen lalu membiarkan sang istri melampiaskan kemarahannya dengan mencabik atau mencakar bagian tubuhnya.
Kata ma’af berhamburan tanpa makna. Dan akhirnya perpisahan
menjadi pilihan. Berpisah membuat kehidupan keduanya lebih damai.
Seorang teman pernah menceritakan ketika ayahnya lebih
memilih ‘wanita lain’ dibanding ibunya. Teman saya sangat kecewa dan seumur
hidup dia membenci sosok ayah. Hingga pada satu hari ayahnya datang kembali
dengan keadaan sakit. Tentu saja dia menentang kehadiran ayahnya. Lambat laun
dia merasa kehadiran ayahnya dijadikan arena balas dendam. Ayahnya yang tak
berdaya mulai menjadi sasaran amukan kalau teman saya lagi bad mood. Apalagi kalau PMS tiba, habis tuh ayahnya.
Dan menurut dia, dia merasa seluruh laki-laki yang dia temui
itu mirip ayahnya. Dia merasa terus harus berkompetisi dengan semua laki-laki
dan memaksa diri harus menjadi pemenang.
“Lama-lama aku cape
Bi,” Kata dia.
Saya yang mendengarkannya juga merasa capek. Secapek-capeknya
mengamati lini masa yang terus didominasi oleh isu pilkada. Teman saya ini
ibarat golongan yang kecewa berat, kalah dalam pilkada lalu terus-terusan
mengutik-utik. Capek banget membayangkannya. Apalagi nanti Pilpres. Mending tutup aja gitu yah medsos-nya?
Akhirnya dia memutuskan berdamai dengan keadaan. Berdamai dengan pikirannya. Berdamai dengan hatinya.
Dia mulai
belajar memahami ibunya yang ‘mau-maunya’ menurut dia merawat ayahnya. Padahal
sudah berulang kali menyakiti mereka. Dia mulai ikhlas menjalani. Ikhlas
melihat penampakan ayahnya di kehidupan sehari-hari.
“Mungkin orang tua bisa memilih anak favorit mereka. Tapi
kita tidak bisa Bi, orang tua kita ya itu. Dia Ayahku. Kita tidak bisa memilih jadi anak
siapa. Kalau bisa memilih mungkin aku sama Tuhan mau minta jadi anak Barack
Obama. Tapi kan engga?” Kata Teman saya. “Mungkin mereka bisa semena-mena
terhadap kita. Mungkin aku juga bisa meninggalkan dia dalam keadaan sakit.
Membalikan semua perkataan dia yang menyakitkan. Dan Tuhan memberi kesempatan
untuk membalas….”
“Membalas dendam maksudnya?” potong saya.
“well, iya…. Tapi apa
bedanya aku sama dia Bi, kalau aku semena-mena sama dia. Aku merasa menjadi
orang yang aku benci.”
Fix! Ma’af-mema’afkan berlaku juga untuk posisi tunggal.
Diri sendiri.
Acapkali dengan membenci kita menjadi seseorang yang kita benci. Ya, seorang haters adalah kekasih yang mencintai dengan versi lain. Seorang pemerhati sejati. Apapun tindak tanduk orang yang kita benci menjadi pusat perhatian kita. Lalu tanpa kita sadari kita menjelma menjadi orang itu.
Acapkali dengan membenci kita menjadi seseorang yang kita benci. Ya, seorang haters adalah kekasih yang mencintai dengan versi lain. Seorang pemerhati sejati. Apapun tindak tanduk orang yang kita benci menjadi pusat perhatian kita. Lalu tanpa kita sadari kita menjelma menjadi orang itu.
Betul (paragraf terakhir).
BalasHapusJadi gimana ini habis pilkada lalu pilpres 😣
-Tatat
Nah itu, sekarang saja sudah riweuh.
HapusSemoga Kakang Mark bisa menangkal dan menjadikan facebook fun again :D
Pengennya
Setuju mak. lebih didahulukan memaafkan diri sendiri sebelum memaafkan orang lain. sama seperti saat darurat di pesawat, yang pakai masker oxygen kan harus kita dulu baru bantu org lain.....tulisan yg bagus..
BalasHapusTerima kasih, sudah berkenan membaca.
HapusIya, masker oxygen kita pakai duluan. Kalau mau bantu dengan pernafasan buatan.
Euuugh.. ini mah yaa
Pernah pas pulang ke Sby, tetangga ibuku ada KDRT. Eh tetep aja yg cewek gk mau ninggalin cowoknya :(
BalasHapuskonsisten berarti tuh
Hapus